Ombudsman: Prosedur Sanksi Cadar IAIN Bukittinggi Menyimpang



Ombudsman RI Perwakilan Sumatra Barat telah rampung melakukan pemeriksaan terhadap rektorat Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Bukittinggi terkait dugaan maladministrasi dalam pemberian sanksi soal cadar. Hasilnya, Ombudsman melihat adanya penyimpangan prosedur dan penyalahgunaan wewenang oleh Rektor IAIN Bukittinggi dalam menjatuhkan sanksi kepada Hayati Syafri, dosen yang diminta libur mengajar karena ketetapannya dalam bercadar.

Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Ombudsman RI Perwakilan Sumbar, Adel Wahidi, menjelaskan penyimpangan prosedur terlihat saat Rektor IAIN Bukittinggi menyerahkan teguran tertulis pertama kepada Hayati pada awal Desember 2017. Dari pemeriksaan diketahui teguran diberikan tanpa melalui pemeriksaan Dewan Etik kampus. Bahkan saat teguran diberikan, Dewan Etik kampus belum terbentuk.

"Dewan Etik baru terbentuk melalui Surat Keputusan Rektor, 28 Desember 2017," jelas Adel usai menyerahkan Laporan Akhir Hasil Pemeriksaan (LAHP) kepada kampus, Senin (30/4).

Baru setelah Dewan Etik dibentuk, Rektor IAIN Bukittinggi meminta secara lisan untuk dilakukan pemeriksaan terhadap dosen Hayati. Adel memandang justru ada proses terbalik yang dijalankan kampus dalam menyusun sanksi terhadap Hayati. Dari hasil pemeriksaan yang dilakukan Dewan Etik pun, tidak diterbitkan rekomendasi berupa sanksi apa pun kepada Hayati atas keputusannya bercadar.

"Nah, tapi dengan hasil itu, rektor malah menjatuhkan sanksi pembebastugasan bagi Hayati semester ini. Makanya kami anggap rektor melakaukan penyimpangan prosedur dan penyalahgunaan wewenang dalam menjatuhkan sanksi," jelas Adel.

Terkait penyalahgunaan wewenang, Rektor IAIN Bukittinggi Ridha Ahida ternyata merangkap jabatan sebagai Ketua Senat kampus. Hal ini, menurut Ombudsman, bertentangan dengan statuta atau AD/ART perguruan tinggi. Kampus berdalih rangkap jabatan yang ada sudah seizin Sekjen Kementerian Agama dan akan melakukan perbaikan struktur jabatan pada Maret 2019.

"Beliau rektor, beliau senat, dalam beberapa kesempatan beliau juga ikut dalam rapat Dewan Etik. Padahal bukan anggota Dewan Etik. Itu letak penyalahgunaan wewenangnya," ujar Adel.

Berdasarkan temuan adanya maladministrasi dalam penjatuhan sanksi kepada Dosen Hayati, Ombudsman RI Sumbar menyerahkan LAHP sekaligus sejumlah tindakan korektif kepada kampus. Tindakan pertama yang harus dilakukan IAIN Bukittinggi dalam kurun waktu 1-2 bulan ke depan adalah pencabutan teguran dan sanksi yang mengikuti bagi Hayati Syafri. Ombudsman juga meminta kampus memulihkan hak-hak fungsional sebagai dosen, termasuk melakukan aktivitas mengajar.

"Untuk pelaksanaan pemulihan hak fungsional dosen ini, kami biarkan mereka sesuaikan dengan jadwal kalender yang ada. Paling lambat semester depan Hayati sudah bisa kembali sebagai dosen," ujar Adel.

Ombudsman juga meminta IAIN Bukittinggi membuat perangkat aturan jelas mengenai standar tata cara berpakaian formal. Apalagi dalam kode etik yang selama ini selalu digaungkan kampus, tidak ada aturan tertulis mengenai cadar. Menanggapi hal ini, kampus menyatakan sudah mulai melakukan penyesuaian kode etik dan memasukkan poin sesuai dengan permintaan Ombudsman.

"Ini baru LAHP, belum ada sanksi. Kalau kampus tidak menjalankannya, bari kami terbitkan produk rekomendasi melalui pusat, termasuk sanksi," katanya.

Kampus menerima hasil pemeriksaan yang diterbitkan Ombudsman. Kepala Biro Administrasi Umum, Akademik, dan Kemahasiswaan IAIN Bukittinggi Syahrul Wirda menyebutkan ia akan membawa LAHP kepada Rektor IAIN Bukittinggi untuk ditindaklanjuti. Selain itu, kampus juga akan berkoordinasi dengan Menteri Agama dalam menyikapi LAHP ini.

"Dalam waktu dekat akan kami bicarakan dengan rektor, selain itu saya belum bisa memastikan apakah saksi tersebut akan dicabut atau tidak," katanya. (republika.co.id)

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Ombudsman: Prosedur Sanksi Cadar IAIN Bukittinggi Menyimpang"

Posting Komentar