Kekebalan Diplomatik dalam Tradisi Peradaban Islam
Keberadaan diplomat suatu negara di negara sahabat sering kali mendapat kekebalan hukum dalam beberapa hal. Minimal para duta negara itu mendapat hak, antara lain, berupa keamanan atas dirinya, kekayaan, rumah, atau kantornya.
Mengutip Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern karya John L Esposito, aturan lazim kekebalan diplomatik dikodifikasi secara otoritatif oleh Konvensi Wina tentang Hubungan Diplomatik (1961) dan Konvensi Wina tentang Hubungan Konsuler (1963) yang diratifikasi oleh sebagian besar negara.
Kekebalan diplomatik di abad modern ini memiliki akar sejarah yang kuat pula dalam praktik historis dan teori hukum Islam. Para ahli fikih di abad pertengahan menegaskan bahwa perlindungan yang diberikan kepada para duta bersandar pada prinsip maslahat (kesejahteraan umum) dan hadis Nabi SAW. Seperti yang disebutkan berbagai riwayat, Rasulullah mengutus dan menerima sejumlah duta serta melarang keras mengganggu mereka.
Dalam tradisi Islam, duta tersebut kerap disebut dengan rasul atau safir yang berarti utusan. Duta ini mengemban sejumlah fungsi dan tugas, antara lain, perundingan perjanjian, menghadiri acara pernobatan, atau menebus tawanan.
Menurut Hukum Islam, duta yang diutus suatu negara ke wilayah Islam secara otomatis mendapat surat jalan tanpa pemberian status aman secara khusus. Jiwa dan hartanya dijamin keamanannya. Duta juga bebas dari membayar pajak sepanjang tidak berbisnis.
Ketentuan duta ini semasa Dinasti Umayah (661-750 M) tetap terpelihara. Mereka mengutus dan menerima duta. Praktik itu kian masif dan intensif sepanjang pemerintahan dinasti yang datang berikutnya, seperti Dinasti Abasiyah (749-1258 M), Dinasti Fathimiyah (909-1171 M), dan Dinasti Mamluk (1254-1517). Tak sedikit delegasi duta yang dikirim ke Eropa, Asia Tengah, dan Asia Timur.
Pada abad ke-16, terjadi peningkatan pengiriman duta secara drastis. Ini menyusul meningkatnya frekuensi perdagangan. Sebagian besar duta dikirim secara temporer dengan tujuan khusus.
Pada akhir abad ini pula, beberapa negara Eropa menempatkan duta di wilayah Turki Usmani dan pemerintahan monarki ini sebaliknya, pada abad 18 menempatkan duta tetap di sejumlah negara Eropa.
Pada abad itu pula, dunia Islam menyaksikan awal rezim kapitulasi. Ini merupakan perjanjian komersial yang memberi warga Barat kekebalan tertentu dari yurisdiksi kriminal dan sipil di negara tempat ia berada.
Kekebalan yang lebih luas dibandingkan dengan Konvensi Wina itu kerap dianggap memalukan oleh negara-negara Muslim. Pada 1940-an kapitulasi dihapuskan. Namun, pada 1960-an sebagian besar negara Muslim menyetujui Konvensi Wina. Tetapi, isi persetujuan itu bukan tanpa catatan.
Pasalnya, hukum Islam tidak sepenuhnya sesuai dengan Konvensi Wina tersebut. Misalnya, sesuai dengan hukum Islam diplomat bertanggung jawab atas kejahatan dan kesalahan yang dilakukan di negara tempat ia berada. Sedangkan, Konvensi Wina tidak menyatakan demikian.
Sumber : Republika.co.id
0 Response to "Kekebalan Diplomatik dalam Tradisi Peradaban Islam"
Posting Komentar