Ini Tantangan Penanganan Asma di Era JKN
Asma merupakan salah satu penyakit gangguan pernapasan yang masuk kategori lima besar dengan pengidap terbanyak di Indonesia. Penyakit ini membuat penderitanya sulit bernapas sehingga menurunkan kualitas hidupnya.
Sayangnya obat-obatan belum ada yang mampu memyembuhkan penyakit ini. Menanggapi hal tersebut Prof Dr. Wiwien Heru Wiyono Ph.D Sp.P (K), FISR, mengatakan bahwa yang bisa dilakukan adalah mengontrol asma untuk mengurangi dan mencegah serangan asma.
Lebih lanjut ia menjelaskan, ada dua mekanisme dasar yang memicu serangan asma, yakni saluran napas yang hipersensitif dan peradangan kronik. Pada penderita asma yang hipersensitif, saluran napasnya akan menyempit jika terpapar oleh pemicu seperti alergen, perubahan cuaca, aktivitas berlebihan, polusi udara, infeksi saluran napas, emosi berlebihan hingga obat-obatan tertentu.
"Kalau peradangan kronik itu timbul ketika ada peradangan di saluran mukosa sistem pernapasan. Hal ini memicu produksi lendir yang berlebihan dan saluran napas menjadi sempit," ujar Prof Wiwien pada peringatan World Ashma Day di Kantor Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, kemarin.
Serangan asma, tambah dia, bisa hilang spontan maupun dengan pengobatan. Obat pelega merupakan salah satu pertolongan utama bagi penderita asma yang hipersensitif, sedangkan kondisi asma karena peradangan biasanya diatasi dengan obat antiperadangan.
Di Indonesia, kata Prof Wiwien, prevalensi penderita asma menurut survei Riset Kesehatan Dasar 2013 mencapai 4.5 persen. Meski demikian, penanganan asma di Indonesia masih menemui berbagai kendala terutama di era sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Umum Pengurus Besar Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Dr dr Agus Dwi Susanto, Sp.P(K) mengatakan ada dua tantangan yang dihadapi dalam penanganan asma di Indonesia. Pertama, kata dia, ketersediaan fasilitas diagnosis asma yang baru bisa dijangkau masyarakat di fasilitas layanan kesehatan tingkat sekunder alias rumah sakit.
"Dilihat dari sistem diagnosis, untuk asma tersedia di layanan sekunder. Di beberapa puskesmas ada, tapi belum di seluruh Indonesia. Ke depannya sebaiknya ada di puskesmas sehingga bisa lebih awal dideteksi dan lebih awal diobati," terang Dr Agus.
Kedua, ketersediaan obat untuk mengontrol serangan asma juga hanya tersedia di rumah sakit. Era JKN, sambungnya, menerapkan sistem rujuk balik. Artinya dalam mendiagnosis asma, puskesmas akan merujuk ke rumah sakit. Lalu untuk mekanisme pengobatan akan dikembalikan ke puskesmas dan merujuk balik ke rumah sakit karena obat-obatan hanya tersedia di fasilitas kesehatan sekunder.
"Sistem rujuk balik hanya menyusahkan masyarakat. Mohon dipertimbangkan lagi sistem ini dan diharapkan obat pengontrol asma tingkat pertama ada di layanan primer," tandas dia. (suara.com)
0 Response to "Ini Tantangan Penanganan Asma di Era JKN"
Posting Komentar